Apa Yang Tak Bisa

Muhammad Ilham Fahreza
2 min readJan 20, 2020

--

Kala semua doa telah terbaca, namun tak berbuah sempurna.

Pada suatu malam, aku tertegun meratapi kegagalan yang baru saja terjadi. Dengan masih memendam penyesalan dan kebencian yang tinggi, aku mengutuk segala yang berhubungan dengan cerita kegagalan tersebut, iri dan dengki tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam pikiran. Mendadak aku kehilangan kepercayaan terhadap mantra ajaib yang selama ini aku pegang, “proses tidak akan mengkhianati hasil”.

Berminggu kemudian, aku mencoba untuk lebih menenangkan diri, mengeleminasi semua pikiran negatif dan melakukan evaluasi. Ternyata Tuhan punya jawaban yang sangat indah, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Kala semua cara telah kau coba, namun tak kunjung tiba bahagia.

Apa yang lebih menyebalkan dari gagalnya sebuah cita-cita yang sudah kau pupuk dan bangun sejak jauh-jauh hari, namun pada akhirnya runtuh tidak tersisa?

Saat semua daya upaya telah kau kerahkan, pikir dan materi sudah terkuras, namun hasil yang terjadi adalah sebaliknya dari yang kau harapkan.

Apa yang tak bisa, kau miliki meski kau telah temui
Itu hanya tanda, kau lebih baik tanpanya.

Apa yang tak bisa kau raih walau kau telah berupaya
Itu hanya tanda, kau tak membutuhkannya.

Aku benci gagal, aku benci kalah, aku benci apa yang aku mau tidak tercapai. Lagipula, siapa orang bodoh di dunia ini yang tidak mau menghindari kegagalan? Kehidupan, aku kira bisa didefinisikan secara singkat sebagai perlombaan untuk mendapat sebanyak-banyaknya berhasil dan sedikit-dikitnya gagal.

Gagal adalah bagian tidak terpisahkan dari Kehidupan, ia bisa menghidupi sekaligus mematikan. Kualitas seseorang, aku kira bisa diukur dari bagaimana ia merespon sebuah kegagalan. Persis seperti yang dikatakan oleh Konfusius, “Kejayaan kita yang paling hebat bukan ditentukan karena kita tidak pernah gagal, tapi karena kita bangkit lagi setiap kali kita jatuh.”

Pada akhirnya, sejauh apapun kita berusaha, sekuat apapun kita berjuang. Saat yang kita inginkan tidak tercapai, solusi terbaik dalam menghadapi semua kepahitan itu adalah sesederhana menyadari bahwa kita memang telah melakukan kesalahan dan menjadi seseorang yang payah. Penerimaan diri adalah jalan terbaik untuk keluar secara total dari masalah.

Atau kita memang perlu mempertanyakan kembali, jangan-jangan pilihan kita selama ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan, dan Tuhan mencoba melindungi kita dengan memberi jalan yang lebih baik.

Lepaskanlah, dan tetap percaya. Jika kau tak dapatkan yang kau impikan,
Bukan berarti kau telah usai bukan?

--

--